AI Masuk Kurikulum 2025, Bagaimana Dampaknya?

Dampak positif AI dalam kehidupan sehari-hari memang sangat signifikan. Apalagi manfaat AI juga bisa dioptimalkan di bidang pendidikan, termasuk bagi guru dalam mengontrol dan mengevaluasi perkembangan belajar siswa. Tidak heran jika kemudian AI menjadi bagian dari penerapan Kurikulum 2025.
Berdasarkan Keputusan Mendikdasmen No. 021/Kep.Mendikdasmen/2025, pemerintah menetapkan mata pelajaran artificial intelligence (AI) sebagai bagian dari Kurikulum 2025 mulai tahun ajaran baru. AI akan diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK.
Kebijakan ini diumumkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo dan Menteri Pendidikan. Gibran menyebut penguasaan AI sebagai prasyarat menuju Indonesia Emas 2045, serta menyoroti penerapan nyatanya oleh PT Jasa Marga dan PT KAI sebagai bentuk kesiapan industri.
Dampak Positif AI Masuk Kurikulum 2025
Integrasi kecerdasan buatan ke dalam Kurikulum 2025 membawa arah baru dalam pendidikan Indonesia. Jika diterapkan secara kontekstual dan berjenjang, AI dapat mendorong transformasi cara belajar-mengajar di ruang kelas.
Dampak positif AI dalam kurikulum ini mulai terlihat dari cara siswa belajar hingga cara guru merespons perkembangan peserta didik, di antaranya:
1. Meningkatkan Personalisasi Pembelajaran
AI yang diintegrasikan dalam kurikulum memungkinkan materi disesuaikan dengan kemampuan dan gaya belajar siswa. Siswa yang mengalami kesulitan dapat dibantu oleh sistem yang menganalisis performa mereka secara real-time. Ini membantu guru menyesuaikan strategi pengajaran tanpa harus mengandalkan penilaian akhir sebagai satu-satunya tolok ukur.
Dalam studi Ying Xu, anak-anak yang didampingi AI saat membaca menunjukkan pemahaman cerita dan perolehan kosakata yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa AI mampu mengisi celah yang kadang luput dari pengawasan guru. Dengan pendekatan yang adaptif, kurikulum lebih inklusif bagi anak-anak dengan kebutuhan dan ritme belajar yang berbeda.
2. Memperkuat Kompetensi Digital Sejak Dini
Kurikulum 2025 membuka peluang anak-anak belajar teknologi secara bertahap, mulai dari logika sederhana hingga dasar pemrograman. Hal ini menyiapkan generasi muda dengan literasi digital yang kuat dan kontekstual sejak bangku sekolah dasar.
Pendekatan ini sudah diterapkan melalui coding unplugged di SD, Scratch di SMP, hingga Python di SMA. Dengan belajar memahami dan menciptakan teknologi, siswa tidak hanya jadi konsumen digital. Ini penting agar manfaat AI benar-benar berpihak pada pendidikan, bukan sekadar adaptasi pasif terhadap teknologi baru.
3. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Etis
Salah satu kekuatan AI dalam kurikulum terletak pada integrasinya dengan pembelajaran etika dan dampak sosial. Siswa diajak untuk memahami teknologi dan mengkritisinya secara etis. Ini mendorong kemampuan berpikir reflektif dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Melalui metode seperti role-playing atau debat, siswa dilatih mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Misalnya, apakah adil jika AI digunakan untuk memantau perilaku siswa di sekolah. Pendekatan ini penting untuk meminimalkan dampak negatif AI yang mungkin muncul dari penggunaan tanpa kontrol.
4. Mendorong Kolaborasi Guru dan Teknologi
Kehadiran AI dalam kurikulum tidak menggantikan guru, melainkan memperkuat perannya. AI membantu menyediakan data pembelajaran yang akurat, sehingga guru bisa fokus pada pendampingan emosional dan strategi pedagogis. Ini membuka ruang kerja yang lebih manusiawi dan terfokus.
Guru dibekali dengan sistem yang mampu mendeteksi area kesulitan siswa secara dini. Mereka bekerja dengan data yang mendukung intervensi yang tepat. Ini menjawab tantangan AI dengan cara yang kolaboratif, bukan kompetitif.
5. Meningkatkan Efisiensi Evaluasi dan Umpan Balik
Penilaian belajar yang biasanya bersifat sumatif kini bisa diperkaya dengan evaluasi formatif berbasis data AI. Siswa mendapat umpan balik cepat dan spesifik yang membantu mereka memperbaiki kesalahan saat itu juga. Ini menumbuhkan budaya belajar yang responsif dan tidak menunggu akhir semester.
Sistem AI memungkinkan analisis menyeluruh terhadap proses belajar, bukan hanya hasil akhir. Guru pun bisa memantau perkembangan siswa secara berkala dan menyusun strategi pengajaran secara dinamis. Efisiensi ini meningkatkan kualitas interaksi guru-siswa dan mempersingkat waktu administratif.
6. Menjembatani Ketimpangan Akses Belajar
AI dapat membantu menyederhanakan akses materi pembelajaran di wilayah yang minim tenaga pengajar. Dengan modul yang bisa diakses kapan saja, siswa tetap bisa belajar meski dalam keterbatasan geografis. Ini mendukung pemerataan mutu pendidikan yang selama ini menjadi tantangan nasional.
Misalnya, sistem tutor cerdas bisa mendampingi siswa belajar matematika di daerah 3T tanpa harus menunggu kehadiran guru. Materi disesuaikan dengan konteks lokal dan bahasa yang mudah dipahami. Ini menjadikan kurikulum lebih adaptif dan berpihak pada keadilan pendidikan.
7. Memperkuat Pendidikan Karakter di Era Digital
Dengan memasukkan topik seperti bias algoritmik, privasi, dan otomatisasi ke dalam pelajaran, siswa diajak memahami konsekuensi sosial dari teknologi. Mereka belajar mengembangkan sikap bertanggung jawab sebagai pengguna dan pembuat teknologi. Nilai gotong royong, kejujuran, dan refleksi dikontekstualkan dengan dunia digital.
Di SMA, siswa bisa membuat chatbot edukatif dan berdiskusi soal risiko penggunaan data pribadi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter tidak hanya berkutat pada nilai-nilai klasik, tapi juga tantangan modern. Dengan pendekatan ini, manfaat AI dalam kurikulum tidak hanya membentuk siswa cerdas, tapi juga berintegritas.
Dampak Negatif AI Masuk Kurikulum 2025
Menteri Abdul Mu’ti menegaskan pentingnya pembelajaran AI sejak dini, namun tetap menekankan bahwa penggunaannya harus diarahkan dengan bijak. Kendati demikian, dampak negatif AI patut diwaspadai agar transformasi pendidikan digital tidak meninggalkan kelompok rentan maupun mengorbankan prinsip keadilan akses.
Data BPS 2023 menunjukkan akses internet di desa hanya 59,33 persen, jauh tertinggal dari kota yang mencapai 76,30 persen. Ini artinya tantangan AI bukan hanya soal kurikulum dan penguasaan teknologi, tetapi juga ketimpangan infrastruktur digital yang berpotensi memperlebar jurang kualitas pendidikan antarwilayah.
Lebih lanjut, berikut dampak negatif AI yang perlu diatasi:
1. Memperlebar Ketimpangan Antar Sekolah
Pelajaran AI menuntut akses perangkat dan internet yang layak, yang belum tersedia merata di semua sekolah. Siswa di kota besar dengan fasilitas lengkap akan lebih mudah memahami materi dibanding siswa di daerah tertinggal. Hal ini memperbesar jurang ketidaksetaraan pendidikan antarwilayah.
2. Menambah Beban Guru yang Belum Kompeten di Bidang AI
Sebagian besar guru di Indonesia belum memiliki kompetensi mengajar materi AI yang kompleks. Tanpa pelatihan khusus, mereka akan kesulitan menyampaikan konsep yang benar, bahkan bisa menimbulkan miskonsepsi pada siswa. Akibatnya, tujuan pembelajaran bisa meleset dan guru semakin terbebani.
3. Menggeser Fokus dari Penguatan Dasar Literasi dan Numerasi
Banyak siswa Indonesia masih lemah dalam kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Materi AI memerlukan pemahaman logika, algoritma, dan matematika tingkat lanjut. Memaksakan pelajaran AI bisa mengalihkan fokus dari pembenahan fondasi utama yang jauh lebih mendesak.
4. Rentan Jadi Pembelajaran Gimmick Tanpa Pemahaman Mendalam
Jika dimasukkan tanpa strategi pedagogis yang matang, pelajaran AI berpotensi jadi simbolik saja atau sekadar tren. Siswa diajarkan istilah teknis tanpa benar-benar memahami makna dan prinsipnya. Ini akan mengurangi efektivitas pembelajaran dan menyia-nyiakan waktu instruksional.
5. Berpotensi Memicu Ketergantungan pada Teknologi Sejak Dini
Materi AI seringkali melibatkan praktik digital yang intensif. Jika tidak dibarengi dengan pendidikan karakter dan keseimbangan sosial-emosional, siswa bisa semakin bergantung pada gadget. Ini berdampak pada berkurangnya interaksi sosial dan ketahanan mental anak.
6. Meningkatkan Risiko Kelelahan Mental Siswa
AI adalah bidang abstrak yang memerlukan daya nalar tinggi. Jika diajarkan terlalu dini atau tanpa pendekatan kontekstual, siswa bisa merasa kewalahan, bingung, atau tertekan. Tekanan ini dapat mengganggu motivasi belajar dan kesehatan psikologis anak.
7. Tidak Relevan untuk Semua Tahap Usia dan Jenjang Pendidikan
Pelajaran AI tidak cocok diajarkan secara menyeluruh di semua jenjang, terutama di SD. Usia dini lebih tepat difokuskan pada penguatan berpikir kritis, kreativitas, dan nilai sosial. Memaksakan materi kompleks seperti AI di fase ini justru bisa menghambat perkembangan alami anak.
Untuk memastikan manfaat AI yang maksimal bagi siswa, implementasinya dalam Kurikulum 2025 harus dilakukan secara bertahap dan kontekstual. Pemerintah dapat memulai dari sekolah-sekolah yang sudah siap secara infrastruktur, sambil memperkuat pelatihan bagi guru agar mampu mengajar dengan pendekatan yang tepat. Sehingga dampak positif AI dalam mendorong literasi digital dan pemikiran logis dapat diperoleh tanpa mengorbankan kesetaraan akses.
Di sisi lain, agar dampak negatif AI seperti ketimpangan akses dan tekanan mental tidak meluas, perlu ada desain kurikulum yang adaptif terhadap kondisi daerah dan jenjang pendidikan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor teknologi, dan komunitas pendidikan menjadi kunci dalam merumuskan solusi atas tantangan AI di lapangan.
Jika dilakukan secara cermat dan inklusif, pelajaran AI dalam kurikulum dapat membuka jalan bagi generasi bangsa. Sehingga mereka lebih melek teknologi, sekaligus kritis dan berdaya saing global.
