3 Elemen Utama Kurikulum Deep Learning

Kurikulum deep learning kini memasuki tahap awal penerapan di sekolah-sekolah Indonesia. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti sebagai pendekatan belajar, bukan pengganti kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013.
Mulai tahun ajaran 2025/2026, Kemendikdasmen telah memulai tahap pilot project di sekolah percontohan. Fokus utama tahap ini meliputi penyusunan naskah akademik, sosialisasi ke daerah, bimbingan teknis untuk guru, serta evaluasi pembelajaran yang konsisten.
Menurut Kamus Cambridge, deep learning adalah cara belajar yang membuat seseorang memahami sesuatu secara utuh dan tidak mudah melupakannya. Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini membantu siswa meneliti fakta dan ide secara kritis, mengaitkannya ke dalam struktur berpikir, lalu menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Contoh deep learning dapat dilihat saat siswa diajak merancang proyek kewirausahaan sederhana, menghitung biaya produksi, dan mempresentasikan hasilnya. Aktivitas ini tidak hanya mengasah kemampuan berhitung, tetapi juga menumbuhkan kreativitas dan keterampilan berpikir kritis.
Program ini ditargetkan menjangkau 14–80 persen sekolah secara nasional pada tahun 2026–2028. Selanjutnya, ditargetkan 80–100 persen sekolah akan menerapkan pendekatan ini secara menyeluruh pada 2028–2030.
Pendekatan ini mencuri perhatian banyak guru karena dinilai mampu mengatasi praktik belajar yang terlalu dangkal dan tidak kontekstual. Dengan memuat elemen mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning, deep learning menawarkan solusi yang lebih relevan terhadap kebutuhan pembelajaran masa kini.
Lalu, apa saja tiga elemen utama dalam Kurikulum deep learning yang kini mulai diterapkan di sekolah-sekolah? Ketahui juga contoh deep learning di kelas dan bagaimana meaningful learning, mindful learning, dan joyful learning membentuk proses belajar yang lebih dalam dan berdampak bagi siswa.
Meaningful Learning
Meaningful learning adalah pendekatan di mana siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi memahami, mengaitkan, dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki. Belajar menjadi proses membangun makna, bukan sekadar menyimpan data.
Dalam konteks ini, peran guru adalah sebagai pengait antara konsep dan konteks. Sebagai contoh, saat membahas topik lingkungan, guru dapat memulai dengan mengaitkan materi dengan kondisi sungai di sekitar sekolah.
Ketika siswa melihat hubungan langsung antara pelajaran dan realitas hidup mereka, terjadi aktivasi mental yang lebih dalam. Sehingga belajar bukan sekadar pengulangan hafalan, tetapi internalisasi makna.
Aktivitas berbasis proyek (project-based learning) menjadi salah satu metode efektif untuk mendorong meaningful learning. Ketika siswa bekerja dalam tim menyusun kampanye hemat energi untuk sekolah mereka, mereka tidak hanya memahami teori konservasi energi, tetapi juga mengalami proses berpikir kritis, kolaborasi, dan komunikasi.
Meaningful learning juga memperkuat motivasi intrinsik siswa. Mereka merasa belajar bukan karena tuntutan ujian, tetapi karena merasa “ini penting bagi saya.” Inilah yang membedakan pembelajaran dangkal dengan pembelajaran yang mengubah cara berpikir. Pengetahuan tidak hanya dipelajari, tetapi “diakui” sebagai bagian dari jati diri intelektual mereka.
Ini elemen penting dalam pendekatan deep learning karena melibatkan otak dan hati secara bersamaan. Hasilnya bukan hanya retensi informasi yang lebih baik, tetapi juga transformasi cara pandang siswa terhadap pengetahuan dan peran mereka dalam masyarakat.
Mindful Learning
Dalam hiruk pikuk dunia yang cepat dan penuh distraksi, mindful learning menawarkan sebuah jeda yang menjadi ruang bagi siswa untuk benar-benar hadir, sadar, dan reflektif terhadap proses belajar yang mereka alami. Ini bukan hanya tentang ketenangan, tetapi tentang kualitas perhatian dan kesadaran yang menyertai proses kognitif.
Mindful learning mengajak siswa untuk fokus pada proses, bukan hanya hasil. Mereka dilatih untuk mengenali perasaan saat belajar. Termasuk ketika frustrasi muncul, saat semangat tumbuh, atau saat pemahaman tiba-tiba “klik” di kepala. Kesadaran semacam ini melatih metakognisi yang merupakan kemampuan untuk memahami cara kita sendiri belajar.
Guru bisa mengintegrasikan praktik mindfulness secara sederhana. Mulai pelajaran dengan satu menit diam, latihan napas perlahan, atau refleksi singkat: “Apa yang saya rasakan saat ini?”. Meski terlihat sederhana, kebiasaan ini berdampak besar pada kesiapan belajar dan pengelolaan stres akademik.
Salah satu prinsip mindful learning adalah non-judgmental awareness atau kemampuan menerima pengalaman belajar tanpa menghakimi. Ini sangat penting terutama bagi siswa yang sering merasa gagal. Ketika siswa belajar menerima kesalahan sebagai bagian alami dari proses belajar, mereka lebih tangguh dan adaptif.
Lebih jauh, mindful learning memperkaya relasi sosial dalam kelas. Siswa belajar mendengarkan aktif (mindful listening), menghargai pendapat berbeda, dan bersikap empati. Kelas pun berubah dari ruang kompetisi menjadi ruang ko-kreasi. Bagi guru, pendekatan ini juga menjadi cara untuk menjaga kewarasan dan kehadiran emosional di tengah tekanan profesional.
Joyful Learning
Setiap anak pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Tapi ketika sistem belajar terlalu kaku dan penuh tekanan, rasa ingin tahu itu perlahan memudar. Joyful learning hadir sebagai pendekatan yang merawat semangat belajar melalui kebahagiaan dan keterlibatan emosional yang positif.
Kebahagiaan dalam belajar bukan hal sepele. Riset menunjukkan bahwa emosi positif meningkatkan kapasitas otak dalam menyerap dan mengolah informasi. Dalam suasana kelas yang menyenangkan, otak melepaskan dopamin yang menjadi neurotransmitter yang memperkuat ingatan dan motivasi. Maka, menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan termasuk salah satu kebutuhan biologis juga.
Guru dapat merancang pembelajaran menyenangkan dengan berbagai cara. Permainan edukatif, tantangan kelompok, simulasi, musik, dan kegiatan luar ruangan adalah beberapa contoh deep learning yang mendorong joyful learning. Yang penting bukan bentuknya, tetapi keterlibatan emosional siswa dalam proses tersebut.
Siswa yang belajar dengan gembira menunjukkan peningkatan kreativitas, kolaborasi, dan antusiasme. Mereka tidak takut gagal, karena lingkungan belajar terasa seperti tempat bermain yang aman.
Lebih dari itu, hubungan antara guru dan siswa pun menjadi lebih hangat dan suportif. Ketika siswa merasa dihargai dan dilibatkan, mereka akan lebih terbuka untuk belajar. Pendekatan ini tidak menghilangkan struktur akademik, tetapi justru memperkuatnya dengan cara yang lebih manusiawi.
Joyful learning tidak membebaskan siswa dari tantangan, tetapi membungkus tantangan itu dalam suasana yang menggembirakan. Maka, proses belajar tidak lagi menjadi kewajiban, melainkan bagian dari petualangan hidup.
Menggabungkan meaningful learning, mindful learning, dan joyful learning menciptakan pengalaman belajar yang utuh. Guru dapat memulai pelajaran dengan latihan fokus (mindful), lalu mengajak siswa mengerjakan proyek yang relevan dengan kehidupan mereka (meaningful), dan menutupnya dengan aktivitas yang menyenangkan seperti permainan atau simulasi (joyful).
Setiap elemen deep learning memperkuat satu sama lain. Proses ini membangun perhatian, kedekatan emosional, dan pemahaman mendalam dalam satu rangkaian belajar.
Kelas yang menerapkan pendekatan ini memberi ruang bagi siswa untuk merasa terlibat dan dihargai. Mereka memahami materi, mengelola emosi, dan menikmati prosesnya. Guru pun lebih mudah membangun koneksi dan menciptakan suasana belajar yang positif. Inilah wujud nyata contoh deep learning di kelas, yakni belajar yang relevan, sadar, dan menggembirakan bagi semua pihak.
