Ketahui 9 Perbedaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka

Perbedaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka perlu dipahami untuk memetakan lanskap pendidikan Indonesia saat ini. Keduanya sama-sama dilandaskan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud yang menjadi payung hukum kebijakan kurikulum.
Kurikulum 2013 secara resmi diberlakukan sejak tahun 2013 sebagai penyempurnaan dari KTSP. Sedangkan Kurikulum Merdeka resmi diberlakukan secara nasional pada tanggal 27 Maret 2024, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024.
Meskipun sama-sama menekankan pentingnya kompetensi dan pembentukan karakter, pendekatan dan fleksibilitas yang ditawarkan keduanya sangat berbeda. Transisi dari Kurikulum 2013 (K-13) ke Kurikulum Merdeka bukan sekadar perubahan format dokumen. Ia membawa paradigma baru dalam pendidikan yang berdampak langsung pada guru, siswa, dan ekosistem sekolah.
Agar tidak gamang dalam menjalankannya, guru perlu memahami secara mendalam apa saja perbedaan antara kedua kurikulum ini. Berdasarkan data resmi dari Kemendikbudristek, berikut 9 perbedaan Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka:
1. Landasan Filosofis dan Tujuan Kurikulum
Kurikulum 2013 (K-13) dirancang untuk meningkatkan kompetensi peserta didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Kurikulum ini mengacu pada standar nasional pendidikan dan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi. Tujuannya adalah membentuk siswa yang produktif, kreatif, dan inovatif melalui penguatan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Sebaliknya, Kurikulum Merdeka dirancang dengan orientasi yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik. Kurikulum ini bertujuan membentuk profil pelajar Pancasila, yakni pelajar yang beriman, bertakwa, berkebhinekaan global, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Fokusnya adalah memberikan ruang tumbuh sesuai tahap perkembangan siswa, bukan sekadar menuntaskan konten.
Perbedaan landasan inilah yang membuat Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual. Kurikulum ini melihat pendidikan sebagai proses pembentukan karakter dan kompetensi secara utuh, bukan hanya sekadar transfer pengetahuan.
2. Format Kompetensi dan Capaian Pembelajaran
Dalam K-13, capaian belajar dijabarkan dalam bentuk Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Format ini bersifat linier dan terstruktur ketat, sehingga guru harus memastikan siswa menguasai seluruh KD pada setiap tingkat dan semester secara runtut.
Kurikulum Merdeka menggantikan KI dan KD dengan Capaian Pembelajaran (CP) yang disusun per fase, bukan per tingkat kelas. Fase ini mencerminkan tahapan perkembangan peserta didik, memberi ruang jeda bagi siswa yang berkembang lebih lambat atau lebih cepat dibanding rekan sebayanya.
Pergeseran ini membuat CP lebih fleksibel dan kontekstual. Capaian pembelajaran ditulis dalam bentuk narasi deskriptif yang menggambarkan kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam satu fase. Ini memudahkan guru untuk menyusun alur belajar sesuai kondisi nyata siswa.
3. Struktur Kurikulum dan Alokasi Waktu
K-13 menetapkan struktur kurikulum dan alokasi waktu belajar secara nasional dengan pembagian jam pelajaran (JP) per minggu dan pembelajaran per semester. Pola ini menuntut keseragaman dalam implementasi di seluruh Indonesia.
Sebaliknya, Kurikulum Merdeka menetapkan alokasi waktu per tahun. Sekolah diberi kebebasan untuk mendistribusikannya sesuai kebutuhan, termasuk dalam merancang jadwal pelaksanaan proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang memuat 20–30% dari total JP di jenjang SD hingga SMA.
Struktur Kurikulum Merdeka memungkinkan integrasi lintas mata pelajaran melalui proyek dan menjadikan pembelajaran lebih terintegrasi. Di sisi lain, ini juga menuntut manajemen waktu yang cermat dari pihak sekolah agar CP tetap tercapai secara optimal.
4. Pendekatan Pembelajaran
K-13 menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach), yang mengharuskan guru melibatkan siswa dalam proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Alih-alih mendalami konteks dan relevansi pembelajaran bagi siswa, pendekatan ini kerap membuat pembelajaran menjadi terlalu formal dan mengutamakan penuntasan materi.
Implementasi Kurikulum Merdeka menggunakan pendekatan diferensiasi yang berpusat pada peserta didik. Guru didorong untuk mengakomodasi perbedaan minat, kebutuhan belajar, dan gaya belajar siswa. Pembelajaran dirancang lebih fleksibel, kontekstual, dan menyenangkan, dengan ruang eksplorasi yang lebih luas melalui proyek.
5. Sistem Penilaian
Penilaian dalam K-13 meliputi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpisah. Guru dituntut memberikan nilai berdasarkan indikator yang ditetapkan untuk setiap KD. Model ini seringkali membebani guru secara administratif.
Sebaliknya, Kurikulum Merdeka menekankan asesmen formatif, yakni penilaian untuk pembelajaran. Asesmen digunakan untuk memberikan umpan balik dan menyesuaikan strategi pembelajaran. Asesmen sumatif tetap dilakukan, tetapi lebih untuk melihat ketercapaian CP dalam rentang waktu tertentu, bukan sekadar angka nilai.
Dengan penekanan pada asesmen formatif, guru lebih fokus pada perkembangan siswa secara personal dan berkelanjutan. Asesmen menjadi bagian integral dari proses belajar, bukan sekadar alat ukur administratif.
6. Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Dalam K-13, peran guru masih dominan sebagai penyampai materi dan pengendali proses pembelajaran. Guru dituntut menuntaskan semua KD yang sudah ditentukan, meskipun kondisi siswa sangat beragam.
Kurikulum Merdeka menempatkan guru sebagai fasilitator pembelajaran yang aktif mendampingi, mengamati perkembangan, serta menyesuaikan strategi dengan kebutuhan siswa. Guru tidak lagi dibatasi oleh tuntutan menyelesaikan seluruh konten secara ketat, melainkan fokus pada proses pembelajaran yang bermakna.
7. Fleksibilitas dan Konteks Lokal
K-13 bersifat seragam secara nasional. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), alokasi waktu, dan pemetaan KD ditetapkan dengan pola baku. Sekolah memiliki ruang terbatas dalam menyesuaikan dengan konteks lokal.
Kurikulum Merdeka mendorong kebebasan dan kemandirian sekolah untuk menyusun Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). Sekolah dapat menentukan model pembelajaran, muatan lokal, bahkan proyek yang relevan dengan kebutuhan di sekitarnya. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya relevan secara nasional, tetapi juga kontekstual sesuai budaya, lingkungan, dan kebutuhan siswa di daerah masing-masing.
8. Integrasi Teknologi dan Akses Belajar
K-13 belum sepenuhnya dirancang untuk menjawab tantangan pembelajaran digital. Ketergantungan pada buku teks dan pembelajaran tatap muka menjadi kendala saat pandemi. Padahal, penggunaan teknologi memberi kemudahan adaptasi pembelajaran jarak jauh dan membuka ruang belajar yang lebih fleksibel bagi siswa dan guru.
Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons terhadap situasi darurat pendidikan. Platform digital seperti Merdeka Mengajar mendukung guru dalam mengakses referensi, modul ajar, asesmen, dan pelatihan. Ini memperluas akses pembelajaran sekaligus memperkuat peran teknologi sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.
9. Inovasi dan Pengembangan Diri
K-13 cenderung menekankan pemenuhan standar akademik. Ruang untuk eksplorasi minat dan bakat peserta didik terbatas dalam kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat opsional.
Kurikulum Merdeka dinilai dapat memberikan ruang nyata bagi pengembangan diri melalui proyek P5. Siswa diajak mengeksplorasi isu-isu riil seperti perubahan iklim, kebhinekaan, atau kewirausahaan secara langsung melalui pengalaman belajar lintas disiplin ilmu.
Inovasi bukan hanya diberikan pada siswa, tetapi juga pada guru melalui pelatihan mandiri berbasis platform dan komunitas belajar. Kurikulum Merdeka menciptakan ekosistem yang memicu tumbuhnya budaya belajar sepanjang hayat.
Implementasi Kurikulum Merdeka bukan sekadar perubahan teknis, melainkan transformasi paradigma. Ia menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, dan guru sebagai fasilitator yang berdaya.
Perubahan ini tentu membutuhkan adaptasi, refleksi, dan kolaborasi antarpendidik. Namun dengan pemahaman yang utuh, Kurikulum Merdeka memberi harapan baru bagi pendidikan Indonesia yang lebih relevan dan berdaya saing global.
Guru pun perlu beradaptasi dengan cepat tanpa mengurangi kualitas pembelajaran. Ingin membantu peningkatan kualitas pendidikan Indonesia melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas guru? Semua orang bisa ikut terlibat dan membantu di sini.